Penyuluh dan Budaya Instan Petani
Cari Berita

Advertisement

Masukkan iklan banner 970 X 90px di sini

Penyuluh dan Budaya Instan Petani

BIMABANGKIT
Rabu, 02 Oktober 2019

Kaharudin*
Istilah instan diadopsi dari bahasa Inggris “instant” yang berarti segera, cepat atau seketika. Sementara budaya disini dapat dipahami sebagai gaya hidup atau pola pikir. Jadi “budaya instan petani” adalah gaya hidup atau pola pikir petani untuk mencapai sesuatu dengan segera, cepat atau seketika. 

Segi positip dari pola budaya ini adalah “penghargaan terhadap waktu”, namun segi negatifnya adalah budaya ini melupakan proses dan terlalu beorientasi pada hasil. Padahal hasil ditentukan oleh pelaksanaan proses yang berurutan dari sebuah teori. Contoh : petani untuk mendapatkan hasil yang tinggi harus melalui tahapan-tahapan proses teori bercocok tanam yang baik. Mustahil mendapatkan hasil panen yang tinggi jika teori budidaya seperti kondisi tanah, pemupukan dan lain-lain tidak dilaksanakan.
Budaya instan saat ini memang sudah sedemikian mengakar dalam kehidupan bangsa Indonesia yang tak terlepas dari pengaruh budaya luar dan yang didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan  dan teknologi. 

Di industri makanan, makanan instan sudah begitu memasyarakat dan hampir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan yang sangat cepat dan sibuk ada mie instan, fase food, bumbu instan, dan sebagainya. Di bidang ekonomi dan keuangan banyak sekali ditawarkan program-program untuk menjadi kaya secara mendadak tanpa perlu kerja keras, bahkan di bidang pendidikan pun bertebaran program-program untuk meraih gelar dengan cepat.

Di bidang pertanian juga tak luput dari budaya ini terutama pola pikir petani kita. Petani tidak lagi memperhatikan bagaimana bercocok tanam dengan baik, tetapi perhatiannya lebih terfocus pada misalnya pestisida apa yang manjur untuk membasmi hama dan penyakit, jenis pupuk apa yang dapat meningkatkan panen, komoditi apa yang akan ditanam hanya dengan melihat keberhasilan petani lain tanpa melihat potensi daerah dan kemampuan sendiri.

Sebagai akibatnya bukan keberhasilan yang didapatkan oleh petani tapi kerusakan pada lahannya dan kegagalan panen yang didapat. Pemakaian pestisida yang tidak tepat dan berlebihan mengakibatkan kerusakan agroekosistem sekitar lahan dan bertambahnya resistensi hama dan penyakit. Pemakaian pupuk anorganik yang berlebihan merusak kesuburan tanah. Penanaman komoditas horticutura seperti cabe, tomat, melon, semangka, dan sebagainya bukannya mendatangkan laba besar akan tetapi kebangkrutan petani karena serangan hama dan penyakit dan fluktuasi harga yang sangat tinggi. 

Pertanyaannya adalah, salahkah petani menginginkan hasil yang tinggi dan kesejahteraannya meningkat? 
Tentu jawabannya adalah tidak salah. Karena kesejahteraan petani adalah hak petani, bahkan diamanatkan di dalam Undang-Undang. Pola pikir instan petani ini tidak lepas dari pengaruh sistem kapitalis dan korporasi yang dianut oleh sistem ekonomi saat ini. 

Korporasi, baik di bidang pestisida, benih, pupuk maupun saprodi yang lain tentu mengincar petani ini sebagai target pasar mereka. Dan agar petani tertarik menggunakan produk mereka, tentu mereka menjanjikan hasil yang baik dan bahkan tidak jarang cenderung bombastis. Mereka secara massif mempromosikan produk-produk mereka tanpa memikirkan kesejahteraan petani tetapi bagaimana produk mereka terjual sebanyak -  banyaknya. Sebagai contoh penjual benih cabe, pasti menargetkan semua petani menanam benih cabainya sebanyak – banyaknya. Mereka tidak memikirkan jika terlalu banyak petani yang menanam cabai pasti harga turun dan akan merugi.

Disinilah peran penting PPL. Bagaimana meluruskan pola pikir petani dalam menjalankan usahanya. Tentu satu tugas yang sangat berat. Karena apa ? Kita lihat bagaimana “promosi” yang dilakukan oleh korporasi, mereka memfasilitasi petugasnya (formulator) dengan sangat baik, sarana yang lengkap, pembekalan mendalam dan biaya yang sangat cukup. Kita bandingkan dengan sarana yang didapatkan PPL, kendaraan yang dipakai sudah tua dan BBM-nya boros, bekal pengetahuannya terbatas, dan biaya penyuluhan yang juga terbatas.
Yang dapat dilakukan oleh PPL adalah bukan berkonfrontasi dengan mereka, tetapi sebisa mungkin menggandeng mereka. Untuk saling melengkapi dalam pelaksanaan transfer informasi kepada petani karena mereka juga memiliki banyak sekali produk inovasi pertanian. 

PPL perlu menekankan pada cara proses budidaya yang benar secara menyeluruh dengan melihat potensi daerah dan potensi sumberdaya masing-masing. Sebagai contoh jika petani menghadapi serangan  hama penyakit, formulator pasti dengan segera mengajukan satu jenis pestisida, yang dilakukan PPL adalah menerangkan siklus hidup hama penyakit, pencegahan dan penanggulangan secara menyeluruh. Terasa membosankan bagi petani (yang telah berpola pikir instan), tetapi harus dilakukan terus menerus sehingga lambat laun ada di benak pikiran mereka. 
Memang bukan tugas yang ringan untuk kembali merubah pola pikir ini, apalagi bagi petani yang rata-rata memiliki pendidikan rendah tetapi dengan usaha yang sungguh-sungguh dan dukungan semua stake holder pertanian. Kita bisa minimal mengurangi dampak globalisasi dan budaya konsumerisme yang berujung pada budaya instan ini.  (*Penulis adalah Penyuluh Pertanian BPTP NTB)